Menghidupkan Kembali Budaya Unggah-ungguh (1)
Rakyat Jawa, khususnya yang berada
di bagian tengah dan timur sudah sejak dahulu menjadikan unggah-ungguh sebagai
bagian dari kehidupan sehari-hari. Tetapi seiring derasnya arus modernisasi, unggah-ungguh
yang tadinya menjadi bagian dari budaya menjadi terkikis oleh pengaruh yang
dibawanya. Hal ini dapat dilihat dari betapa krisisnya moral dan kepedulian
masyarakat pada masa kini. Sebagai contoh, budaya saling sapa dari muda kepada
yang lebih tua yang makin ditinggalkan. Siswa makin lama makin tidak
menghormati gurunya, anak makin lama, ketika bertutur ke orang tua mereka,
sudah seperti bertutur kepada teman sendiri. Bahkan tak jarang mengeluarkan
kata-kata kasar. Belum lagi tawuran dan perkelahian yang sering melibatkan
siswa atau remaja antar sekolah. Berdasarkan laporan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) Bulan Oktober 2016, tercatat ada 52 anak pelaku tawuran dan 33
anak yang menjadi korban.
Apakah ini moral dari negeri yang
terkenal dengan keramahannya ini? Mana Indonesia yang selalu dicitrakan sebagai
negara yang selalu tersenyum kepada negara lain di dunia internasional? Budaya
kesopanan yang selama ini dianut, semakin lama sudah semakin tergerus. Bukan
tidak mungkin budaya itu hanya tersisa menjadi catatan sejarah ke depannya.
Ini
sangat mengkhawatirkan mengingat Indonesia sedang menghadapi visi besarnya
menuju Indonesia Emas pada tahun 2045. Sebuah kemunduran besar jika budaya
sopan santun yang puluhan tahun bangsa ini pegang justru punah di usianya yang
ke-seratus tahun. Padahal dalam visinya, Indonesia pada umurnya yang ke-seratus
diharapkan sudah mampu bersaing dengan dunia internasional di berbagai bidang
(Utomo, 2017). Hal ini hanya akan terwujud jika Indonesia mau membenahi aspek
sumber daya manusianya.
Fakta
menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh 90% karakternya dan 10%
dari sisi akademis (Edy, 2012). Dari sini bisa disimpulkan bahwa kesuksesan
suatu bangsa dipengaruhi oleh karakter rakyatnya.
Budaya
selama ini selalu berjalan beriringan dengan kehidupan sosial. Sebagai contoh
adalah kisah pewayangan yang sudah melekat di kalangan sesepuh Jawa. Budaya ini
tidak akan dikisahkan secara turun-temurun kecuali karena dia punya implikasi
terhadap kehidupan sosial. Cerita ini mendorong masyarakat jawa untuk saling
hidup bekerja sama dan bekerja keras. Begitu juga yang terjadi pada unggah-ungguh.
Unggah-ungguh mendorong masyarakat jawa untuk menghormati sesama, apalagi
terhadap yang lebih tua. Karena inilah, unggah-ungguh penting untuk
dijaga dan andilnya cukup besar untuk menjaga keharmonisan antara individu.
Unggah-ungguh
dalam ilmu Bahasa Jawa merupakan kata dwilingga salin swara[1] dari kata ‘ungguh’
yang diulang dua kali. Arti kata ungguh adalah bagaimana bersikap terhadap
orang lain, yang didasarkan pada strata/ tingkatan/ kasta dan levelnya (Suharti. 2001: 69). Dari pengertian tadi dapat diketahui bahwa unggah-ungguh
atau tingkat tutur berbahasa (undha usuk basa) bukan hanya sebatas
kesopanan berbahasa. Tetapi juga mencakup konsep bertingkah laku dan beretika
terhadap yang lebih tua, tidak sebatas bertutur dalam Bahasa Jawa Kromo
Inggil terhadap orang yang lebih tua.
Unggah-Ungguh
dalam masyarakat Jawa, seperti yang dijelaskan di atas tadi, cakupannya
sangat luas. Tidak hanya berkutat seputaran tata cara bertutur saja, tetapi
lebih kepada kehidupan sehari-hari. Dalam budaya bertamu masyarakat Jawa
misalnya, seorang tuan rumah dianggap tabu untuk sekedar mengucapkan ‘kapan
pulang?’ karena itu dianggap sebagai sebuah upaya pengusiran secara halus.
Selain itu dalam kehidupan sehari-hari, jika seseorang melewati orang-orang tua
yang sedang berkumpul, maka dia wajib mengucapkan permisi dengan kalimat ‘nyuwun
sewu[2]’. Betapa indahnya
budaya unggah-ungguh apabila diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Komentar
Posting Komentar