Puya ke Puya, Sebuah Kritik Atas Adat yang Makin Terbelakang


Melihat track record Faisal Oddang yang begitu bombastis di kalangan sastrawan membuat saya langsung terpincut untuk membeli karyanya. Jadilah saya  pergi ke toko buku yang letaknya agak jauh dari rumah untuk mendapatkan karya Oddang yang pernah memenangi juara ke-4 DKJ, Puya ke Puya.

Faisal Oddang sendiri adalah sastrawan yang sedang naik daun di dunia sastra semenjak cerpennya 'Di Tubuh Tarra Di Dalam Rahim Pohon' dinobatkan sebagai cerpen terbaik pilihan kompas tahun 2015. Pencapaian yang sangat spektakuler mengingat Kompas merupakan salah satu harian yang menjadi patokan sastrawan dalam dunia sastra. Lebih spektakuler lagi jika melihat bahwa umur Oddang saat itu masih 21 tahun, dan dia sudah berhasil menghempaskan hegemoni penulis langganan juara Kompas macam Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, Agus Noor bahkan Ahmad Tohari. Apalagi cerpen yang membawanya memenangkan penghargaan itu merupakan cerpen pertamanya yang dimuat dalam harian Kompas.

Novel Puya ke Puya sendiri menjadi pemenang ke-4 dalam Sayembara DKJ 2014. Melengkapi pencapaian Mahfud Ikhwan yang saat itu berhasi menjadi juara dengan novelnya 'Kambing dan Hujan'. Desas-desusnya novel Puya ke Puya ini ditulis Oddang hanya dalam kurun waktu tiga minggu (bagaimana bisa?, menang lagi).

Novel ini memang istimewa, itu kesan pertama saya saat pertama kali melihat bagaimana cara Faisal Oddang memindahkan sudut pandang (point of view) antar satu tokoh ke tokoh lainnya. Oddang memindahkannya dengan memberi tanda bintang pada setiap pergantian tokoh dan mulai memulai sudut pandangan baru dengan tutup kurung.

Puya ke Puya bercerita tentang Allu dan ibunya yang terbelit masalah pelik karena ayahnya Rante Ralla meninggal. Sebagai seorang bangsawan Toraja, Allu dan keluarga yang ditinggalkan dituntut untuk memakamkan Rante dalam upacara Rambu Solo. Sebuah upacara penghormatan untuk mengantarkan arwah ke puya (surga). Yang jadi masalah adalah Rambu Solo bukanlah upacara biasa, upacara ini mengharuskan Allu untuk menyembelih puluhan kerbau serta ratusan babi yang hanya bisa didapat dengan harga mahal.

Allu yang tak ditinggali warisan apapun dari ayahnya terus berkelit dari tuntutan keluarga besar untuk mengupacarakan ambe(bapak)nya dalam Rambu Solo. Ia bersikeras untuk memakamkan ambenya di Makassar agar bisa melepaskan diri dari ketatnya adat Toraja. Di Makassar dia berencana untuk memakamkan ambenya dengan pemakaman biasa.

Secara kesuluruhan novel ini benar-benar bisa merepresentasikan budaya Toraja yang memang terkenal ketat. Novel ini juga bisa menggambarkan betapa adat dewasa ini sedang mengalami pergeseran dengan adanya arus modernisasi. Setelah membaca novel ini saya semakin percaya bahwa Oddang memang luar biasa. Ramuannya kental dengan nuansa lokalitas. Layak untuk menjadi pesaing berat Benny Arnas dengan Lubuk Linggaunya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menghidupkan Kembali Budaya Unggah-ungguh (1)

Meredifinisikan Sebesar Keinsyafanmu, Sebesar Itu Pula Keuntunganmu

Tanah Air, Kumpulan Cerpen Kompas yang Paling Muktakhir