Pengabdian, Refleksi dan Sebuah Panggilan Hati
Ada banyak bentuk pengabdian orang untuk membalas budi terhadap apa maupun
siapa yang sudah diminta budinya. Habibie contohnya, berikrar untuk mengabdi
pada negeri dengan memajukan dunia kedirgantaraan tanah air. Padahal beliau
sudah diiming-imingi berbagai kenikmatan dunia jika mau bersekutu dengan
perusahaan kedirgantaraan Jerman saat itu. Belum dengan Indonesia yang saat itu
sedang parah-parahnya dilanda krisis monenter. Jika dilihat dari perspektif
orang awam, buat apa hidup susah di Indonesia sedangkan kita bisa hidup di luar
negeri lebih sejahtera? Tapi tuan Habibie telah memilih jalan ini. Mengabdi
pada negeri, memenuhi panggilan hati, dan memperbaiki carut-marut negeri saat
menjadi presiden.
Panggilan hati untuk mengabdi lahir dari kecintaan yang luar biasa pada
sesuatu. Rasa cinta yang tumbuh karena besarnya pengorbanan yang diberikan,
karena banyaknya liku kehidupan yang dilalui, serta perlunya balas budi.
Mengabdi pada sesuatu bukan hanya perkara memberikan apa yang sudah diberi
kepada sesuatu itu. Bukan pula masalah bayar-membayar utang. Lebih dari itu.
Sulit dideskripsikan jika tidak benar-benar merasainya.
Apakah mengabdi harus dengan sepenuh hati?
Pertanyaan dengan konteks semacam ini selalu gagal untuk memahami suatu
arti. Pertanyaan yang sebetulnya tak mengacu pada suatu jawaban apapun. Bukan
bentuk sebuah pengabdian jika tidak sepenuh hati. Sama sekali bukan. Lantas
pantas disebut apa? Hanya upaya basa-basi untuk menghapus rasa tidak enak tidak
hati. Itu masih mending! Kalau tidak punya rasa tidak enak hati sama sekali?
Sungguh tidak tahu diri.
Bicara tentang suatu pengabdian jangan dicampurkan dengan kesejahteraan dan
kenikmatan dunia apapun bentuknya. Itu menodai apa yang ada di dalam hati. Keji.
Jangan dilakukan. Semua ini agar sama-sama direfleksikan baik-baik. Uusiikum
wa iyyaya litaqwa-l-llah.
Komentar
Posting Komentar