Kesantrian
Tulisan ini tidak akan menyinggung kehebatan seorang santri dari sisi manapun. Tidak juga berniat untuk melihat santri dari perspektif manapun. Kalau untuk itu, sudah berjibun tulisan yang ada sudah cukup mewakilinya.
Eksistensi berhasilnya suatu pendidikan muncul ketika yang terdidik bisa menjadi apa yang diharapkan oleh pendidik. Sederhana. Jika seorang pendidik berkata A, dan itu baik, maka yang terididik harus mengekornya. Yang tidak sederhana adalah bagaimana menjadikan suatu pendidikan yang telah diberikan tidak lekang dimakan perjalanan.
Saya tidak pernah serta merta menjustifikasi jika seorang terdidik tidak bisa melaksanakan apa yang dididikkan kepadanya tanpa ada pendidik maka lantas sistem pendidikan itu salah. Tidak, sama sekali tidak. Karena sebesar apapun usaha pendidik untuk membuat muridnya terdidik, akan sia-sia jika yang dididik tidak merasa dididik. Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu.
Saya mencoba menganalogikannya dalam kedokteran seorang dokter. Saat seorang dokter bangga ketika dia lulus dari kuliahnya dan mengucapkan sumpah dokter, apakah tugasnya sudah selesai? Tidak, dia baru saja memulainya. Ketika seorang anak lahir dan merengek di dunia, setelah mengalami ujian selama sembilan bulan dan dinyatakan lulus lewat sebuah kelahiran, apakah dia sudah selesai menjalani kemanusiaannya? Tidak, bayi itu baru saja menjalani eksistensinya sebagai manusia.
Sampai di sini seharusnya anda sudah tahu ke mana tulisan ini akan saya bawa.
Menyantri adalah adalah usaha mendapatkan pendidikan yang sangat mulia. Menahun belajar agama, bergelut dengan buku-buku berbahasa Arab, bergulat dengan disiplin, dsb. Tapi apakah ketika semua masa itu telah sampai ujungnya lantas semuanya telah selesai? Dengan bangga kita bisa berlarian membawa predikat 'santri', dengan embel-embel tulen bahkan?
Tidak.
Menyantri adalah suatu hal dan menjadi santri adalah hal yang lain. Menjadi santri adalah soal bagaimana seorang santri bisa menerapkan apa yang selama ini didapatkannya selama menyantri. Menebar sari-sari kehidupan untuk membuat dunia sedikit lebih baik. Berdiri di 'ngarso' untuk mengahadang derasnya arus kebathilan. Tugas yang diemban luar biasa lebih berat. Sarat pertanggungjawaban. Jika umat yang ada di sekililing santri terancam masuk neraka, santrilah yang harus paling depan bertanggung jawab.
Ingat kata-kata itu; laa yastawii-l-ladziina ya'lamuuna wa-l-ladziina laa ya'lamuuna. Tidak sama antara orang yang tahu dan orang yang tidak tahu. Tidak sama adzabnya, tidak sama panas api nerakanya, tidak sama laknatnya. Bisa dua kali lipat, empat, delapan, dst. Na'udzubillah, na'udzubillahh.
Komentar
Posting Komentar