Leicester Percaya Jika Kemustahilan Itu Mustahil


Aku hanya ingin sekedar membagikan suatu kisah. Tentang suatu kemustahilan. Tentang realita yang ada. Tentang maha kebertahanan dari suatu tekanan. Karena aku adalah seorang penggila bola. Dan aku masih percaya, selama bola dan bumi masih bulat, kemustahilan itu mustahil.

***

Leicester bukanlah klub mapan. Bukan klub kaya raya. Bukan klub bertabur bintang. Padahal notebenenya uang bisa merubah segalanya di dunia persepakbolaan yang lambat laun semakin mengandalkan kekuatan materi untuk mendapat juara. Ya kekuatan materi saja, minim usaha, serba instan, hasil yang membanggakan. Siapa yang tidak tergiur?

Ketika Leicester datang ke Liga Priemer di medio tahun 2014/2015 dengan status juara di divisi dua, Leicester tak serta merta di anggap. Seperti kebanyakan tim promosi lainnya yang datang ke Liga Priemer, singgah sejenak, menjadi pemanis kompetisi, menjadi bulan-bulanan tim mapan, lantas terdegradasi kembali ke kasta kedua. Sungguh status itu tak kurang suatu apapun untuk disematkan terhadap klub sesemenjana Leicester.

Benar saja memainkan 31 laga Leicester hanya mencatat kemenangan sebanyak 6 kali, draw 7 kali, dan kalah 18 kali. Sepanjang musim Leicester hanya bisa menorehkan 25 angka.

Hanya saja Leicester masih cukup beruntung. Leicester masih bisa bertahan di Liga Priemer di tahun pertamanya. Memenuhi ekspektasi kebanyakan klub-klub promosi. Ekspektasi yang jauh dari kata muluk. Istilahnya, dapat telur saja sudah senang daripada kelaparan.

Di tahun keduanya di Liga Priemer lagi-lagi Leicester tak memasang target muluk. Selama masih diberi kesempatan untuk bertahan di kasta tertinggi di Liga Inggris itu sudah cukup. Harapan untuk menjadi juara, tentu ada. Tapi mungkin tak seberapa.

Leicester memulai tahun keduanya dengan start yang cukup apik, Leicester menang 4-2 atas Sunderland di kandang sendiri. Jamie Vardy yang sangat fenomenal di musim itu juga menunjukkan taringnya. Bahkan Leicester sempat merangsek ke papan atas klasemen di awal-awal liga. Tapi semua orang menganggap itu hanya suatu ketidaksengajaan. Apalagi ketika Leicester di hantam habis-habisan 5-2 oleh Arsenal. Aih, mereka turun lagi ke posisi 8.

Tapi selanjutnya Leicester kembali menorehkan tren positif dengan 3 kemengangan beruntun. Di pekan kedua belas, Leicester melawan klub berat, Manchester United. Jamie Vardy menjadi sorotan karena di ambang pemecahan rekor sebagai pencetak gol beruntun terbanyak mengalahkan Ruud van Nistelrooy jika dia berhasil mencetak gol di laga tersebut. Dan ajaib, Vardy mencetak gol dan membuat pertandingan berakhir imbang 1-1. Rekor barupun telah ditoreh.

Untuk selanjutnya Leicester benar-benar tak terbendung. Berhasil mengkudeta posisi pertama dari Manchester City di pekan ke 28, Leicester mencetak sejarah. Meski hanya terus menang dengan skor tipis, Leicester konsisten. Dari seluruh laga yang dimainkan selama semusim, mereka hanya kalah 3 kali. Iya tiga kali, berbanding terbalik dengan 18 kekalahan yang mereka derita.

Penentuanpun terjadi di akhir musim. Mereka dipaksa melawan Manchester United dengan keadaan pincang karena sejumlah pemain pilar dilanda cidera. Jamie Vardy digantikan Ulloa. Riyad Mahrez cidera. Dan Tottenham menempel ketat dengan poin 69 dan menyisakan 3 laga. berjarak 7 poin dari 76 poin yang dikumpulkan Leicester. Masih ada kesempatan gagal bagi Leicester. Apalagi jika mereka kalah dan The Spurs menang.

Tapi di hari itu N'golo Kante menjadi pembeda. Golnya melalui kepala memaksa Tim Setan Merah bermain imbang 1-1. Hanya perlu menanti hasil Tottenham melawan Chelsea yang menentukan status juara mereka.

Hasilnya Chelsea berhasil menahan imbang Spurs 2-2. Leicester juara. Mereka bersorak untuk kemenangan yang sudah dinanti selama 48 tahun.

Mustahil dipercaya. saya sendiri berulang mengucek mata ketika seluruh dunia memberitakannya. Melihat komposisi pemain yang sama sekali berkelas, lantas menjadi juara seperti hanya suatu keberuntungan. Melalui kapasitas saya sebagai manusia itu di luar nalar, tapi benar-benar nyata terjadi.

Akhirnya dengan mata hati saya hanya dapat mengurai beberapa hal dari sekian keajaiban yang Leicester buat. Keberhasilan mereka adalah buah kekonsistenan. Leicester bisa konsisten menorehkan kemenangan walau dengan hasil yang tipis. Meski dicerca yang penting ada hasilnya bukan. Nyatanya seperti itu pula hidup. Bahwa konsisten meski tak seberapa lebih baik daripada taubat sesaat tapi maksiat lagi. Atau dapat penghasilan banyak di bulan pertama tapi bangkrut habis-habisan di bulan selanjutnya.

Leicester juga mengukir tinta emas di atas batu dengan jelas bahwa suatu kemustahilan itu mustahil. Claudio Ranieri sendiri bisa membuktikannya. Dicerca di awal musim karena dianggap sebagai pelatih yang sudah dimakan umur, the Tinkerman masih bisa menunjukkan kapasitasnya. Juara adalah sebuah pembuktian. Jamie Vardy bahkan menjadi top skorer di akhir musim. Lengkap sudah.

Setidaknya Leicester sudah membuktikan bahwa selama bola masih bulat, tidak ada yang mustahil. Jadi selama bumi masih bulat, perputaran nasib tidak ada yang menjamin kan? Impossible is nothing guys.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menghidupkan Kembali Budaya Unggah-ungguh (1)

Meredifinisikan Sebesar Keinsyafanmu, Sebesar Itu Pula Keuntunganmu

Tanah Air, Kumpulan Cerpen Kompas yang Paling Muktakhir