'Muslim Tanpa Masjid', Lakon Besar dalam Panggung Perpolitikan 2019



Aksi 212 tahun lalu yang digelar di monumen nasional dengan agenda menunntut penista agama, Gubernur Jakarta agar dijatuhi pidana ramai dibludaki jutaan orang. Aksi ini berjalan sesuai jargon yang dibawa, super damai. Tuntutan yang dibawakanpun didengar, bahkan berbuah manis. Penista agama itu sekarang sudah dibui dengan hukuman 2 tahun penjara.

Sejak awal adanya rencana aksi ini muncul, lahir beragam spekulasi. Aksi yang digawangi oleh Gerakan Nasional Pelindung Fatwa MUI ini disinyalir oleh beberapa pihak akan menimbulkan makar, layaknya aksi di 1998. Polisi pun sudah ambil ancang-ancang dengan membatasi kuota peserta yang berangkat dari sejumlah daerah. Mobil-mobil yang berdatangan ke arah Jakarta pun diawasi habis-habisan layaknya zaman Soeharto. Tindakan yang layak dilihat sebagai bentuk ketakutan pemerintah (dan semua yang beroposisi atas yang bersangkutan) atas kekuatan yang ada di dalamnya. Kekuatan yang akhirnya berhasil mengirim Basuki ke bui dan membawa Anies jadi DKI 1.

Kekuatan yang sudah berjalan lama ini kembali dirayakan dalam sebuah reuni yang terhitung akbar, 2 Desember lalu. Mengatasnamakan reuni dan diagendakan akan didatangai beberapa ulama besar (bahkan Habib Rizieq disinyalir juga akan datang) juga politisi, acara ini berlangsung tanpa visi yang jelas mendasari. Jika hanya reuni, apa harus dengan aksi? Jika hanya reuni apakah tidak terlalu membuang-buang tenaga untuk sesuatu yang hanya merupakan bentuk perayaan itu? Entahlah, hanya para penyelenggara dan peserta yang  tahu pasti apa tujuan riil aksi itu selain berdo'a, dan bershalawat. Yang akan jadi fokus sekarang adalah, siapa pengisi kekuatan aksi tersebut? Kekuatan besar yang berhasil menyingkirkan kekuatan sebesar Basuki dan oposisinya (tentu lengkap dengan pebisnis-pebisnis yang ada di belakangnya).

Sebuah ulasan menarik dalam acara 'Apa Kabar Indonesia Pagi' beberapa waktu yang lalu sedikit memberikan jawaban. Menurut beberapa pengamat, mayoritas pengikut aksi tersebut merupakan kaum muslim perkotaan. Kutowijoyo pernah menyebut muslim semacam ini sebagai kaum 'muslim tanpa masjid'. Dalam artian kaum muslim yang menjadi mayoritas peserta yang hadir di aksi 212 adalah muslim yang tidak secara langsung dan mendalam belajar Islam. Justru mereka adalah orang-orang perkotaan yang baru mempelajari Islam. Cara belajar mereka salah satunya adalah dengan mengikuti aksi ini. 'Muslim tanpa masjid' mempelajari Islam dengan cara-cara yang tidak konvensional. Mereka tidak belajr Islam dari kitab-kitab klasik. Mereka terlepas dari penggolongan sekte NU dan Muhammadiyah. Bisa dibilang mereka adalah muslim yang cenderung moderat.

Dalam suatu ulasan di kolom Resonansi, Nasihin Masa menyatakan bahwa kaum muslim semacam ini (beliau menyebutnya sebagai muslim urban) merupakan kekuatan besar yang memenangkan duet Anies-Sandiaga. Mereka adalah orang-orang berwawasan seperti layaknya orang perkotaan. Mencekkoki politik uang kepada mereka adalah hal yang sia-sia. Mereka adalah kaum intelek. Memilih berdasarkan perhitungan.

Hal inilah yang sejatinya sedang membuat kontestasi menuju panggung perpolitikan 2019 memanas. Kemenangan Anies-Sandi yang sebelumnya sangat tidak diduga (apalagi jika melihat kekuatan uang kubu sebelah) patut menjadi alarm bahaya bagi seluruh lakon yang ada di dalamnya. Hanya, akankah 'muslim tanpa masjid' ini akan tetap berdiri dengan arusnya sendiri diluar NU dan Muhammadiyah? Atau justru merekalah yang akan mempersatukan umat muslim menjadi kekuatan politik yang luar biasa besar dengan bekal intelektualitas? Menarik untuk ditunggu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menghidupkan Kembali Budaya Unggah-ungguh (1)

Meredifinisikan Sebesar Keinsyafanmu, Sebesar Itu Pula Keuntunganmu

Tanah Air, Kumpulan Cerpen Kompas yang Paling Muktakhir