Analisis Ledakan Pabrik Mercon PT. Panca Buana
Sebuah pabrik mercon milik PT. Panca Buana mengalami ledakan besar pada 26
Oktober 2017 dini hari. Ledakan berasal dari tumpukan material bahan eksplosif
yang diduga tersulut api lantas menimbulkan ledakan besar. Bahkan ledakan
sampai terjadi dua kali dan sempat merobohkan dinding di salah satu sisi
pabrik. Akibat kejadian ini sebanyak 47 pekerja tewas terpanggang api.
Kecelakaan kerja yang terjadi di pabrik mercon yang berada di daerah
Kosambi, Tangerang ini menjadi indikator kuat bahwasannya sistem manajemen K3 (SMK3)
masih belum banyak diterapkan di perusahaan menengah ke bawah. Pabrik-pabrik
menengah ke bawah ini kebanyakan hanya berfokus pada peningkatan di sektor produksi
saja guna mengejar target produksi tinggi tanpa menghiraukan keselamatan para
pekerjanya.
Kejadian
yang kebakaran tersebut memang sudah tidak bisa dielakkan lagi, apalagi dengan
tidak adanya SMK3 yang diterapkan di pabrik milik PT. Panca Buana itu.
Setidaknya ada beberapa kesalahan fatal yang dilakukan pihak manajemen pabrik
hingga kecelakaan ini sama sekali tidak bisa dicegah dan diminimilisir
akibatnya.
Pertama,
menyangkut izin kerja. Dilansir dari kompas.co.id, Bupati Tangerang
Ahmed Zaki Iskandar, menyatakan bahwa pabrik mercon ini pada awalnya hanya
mengantongi izin kerja sebagai gudang, namun ditingkatkan menjadi industri
manufaktur pada tahun 2016. Namun karena ada beberapa pelanggaran mengenai
jumlah pekerja. Di proposal yang diajukan direksi jumlah pekerja hanya 10-15,
namun begitu ditelusuri jumlahnya lebih dari 100 orang. Karena itulah surat
izin usaha pabrik ini dicabut dan sudah tidak berlaku lagi. Namun proses produksi
di dalamnya masih terus berjalan hingga akhirnya meledak pada akhir 2017.
Kedua,
tidak adanya penerapan SMK3 di lingkungan kerja. Pabrik mercon sebagai
lingkungan kerja yang rawan bahaya mengingat sebagian material bahannya yang
mudah meledak sudah seharusnya menerapkan SMK3 di lingkungan kerja. Namun
pabrik mercon milik PT. Panca Buana ini sama sekali tidak memili sistem tanggap
darurat kebakaran, seperti hydrant, APAR, dsb. Dari hasil investigasi
juga diketahui bahwa pabrik ini sama sekali tidak memiliki jalur evakuasi dan
seluruh pintu tergembok rapat ketika kebakaran terjadi. Tidak heran jika
kebakaran ini menimbulkan banyak korban jiwa.
Ketiga,
pelanggaran terhadap pemekerjaan anak. Manejemen PT. Panca Buana terbukti
mempekerjakan banyak anak di bawah umur. Dari puluhan korban terluka yang
dirawat di RSUD Kabupaten Tangerang pasca kejadian, mayoritas masih berumur 15
hingga 16 tahun. Hal ini menjadi indikator kuat bahwa pihak manajemen melanggar
UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 68 mengenai larangan untuk
mempekerjakaan anak.
Terakhir,
PT. Panca Buana terbukti melanggar UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 pasal
99 mengenai hak jaminan sosial bagi tenaga kerja. Dari 103 jumlah pekerja yang
ada, hanya 27 pekerja yang didaftarkan di BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini sangat
memungkinkan pihak manejemn untuk berlaku semena-mena terhadap pekerja bahkan
melanggar hak-hak pekerja.
Dari
kejadian ini, sudah seharusnya pemerintah meningkatkan pengawasannya terhadap
usaha-usaha menengah ke bawah. Pengusaha disektor ini cenderung berfokus pada
sektor produksi saja tanpa memperhatikan aspek keselamatan. Izin kerja beberapa
perusahaan yang terbukti melanggar peraturan juga seharusnya dicabut. Hal ini
penting untuk menjadi pembelajaran serta alarm bagi perusahaan lainnya agar
mematuhi UU Ketenagakerjaan yang sudah diatur oleh pemerintah.
Komentar
Posting Komentar